KOBOK, Minuman Pemersatu Berkualitas Premium

“Bapa, nanti kalau situasi kembali normal, saya akan pasarkan tuak Kobok ini ke luar negeri, turis-turis saya antar ke sini, Bapa tenang sa, pokoknya Bapa siap sibuk banyak”. 

Dengan sangat lantang Ino mengucapkan kalimat itu. Ia melepaskan semua peralatan kamera di tangannya saat Alvin dan saya sibuk mewawancarai Bapa Tomas. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan tempat shooting, ia berjalan tak seperti biasanya, berlenggak-lenggok di antara rak piring, beruntung saja kakinya tak menginjak ekor anjing yang masih tidur di balik pintu.

Mama Ida datang membantu, ia memegang tangannya dan memandunya ke ruang tengah. 

“nana, tidur di sini saja dulu”. Mama Ida berusaha menenangkan sambil membaringkannya ke atas tempat tidur. 

Begitu kira-kira efek langsung setelah Ino meminum tuak Kobok satu botol ukuran 60 ml berdua dengan Bapa Tomas.

Di balik dinding dapur terbuat dari bambu yang hampir lapuk termakan usia itu, mama Ida mendengarkan suaminya bercerita tentang tuak Kobok dan semua proses yang dikerjakan saat menyadap nira pohon enau. Sesekali mama Ida terlihat tersenyum saat suaminya salah menyebutkan kata-kata tertentu yang membuat  Alvin dan saya harus mengulang pengambilan video. 

Ti do bail inu tuak (terlalu banyak minum tuak), ungkap Mama Ida marah, setelah melihat Bapa Tomas tampak tak fokus menjawab pertanyaan. 

Sebaliknya, bagi Bapa Tomas itu merupakan cara agar ia tak kaku di hadapan kamera dan dapat menjawab pertanyaan dengan baik dan lancar.

Kiri-kanan: Ino, Bapa Tomas Bombang, Alvin

Bapa Tomas menuturkan bahwa ia sudah mulai menyadap nira pohon enau sejak usia 17 tahun. Kegiatan menyadap nira diwariskan oleh almarhum ayahnya. Bagi Bapa Tomas, menyadap nira dapat membantu keberlangsungan hidup keluarganya. 

Menyadap tuak merupakan salah satu pekerjaan pokok di samping profesinya sebagai seorang petani sawah, coklat, cengkeh dan juga seorang buruh bangunan kerena untuk menyadap tuak, ia paling banyak sibuk di bulan Januari sampai Mei saja saat air tuak lebih banyak muncul.

Setiap pagi dan sore hari, Bapa Tomas sudah berada di kebun yang berjarak kira-kira 30 menit berjalan kaki. Di kebun, ada pondok yang digunakan selain menyimpan hasil panen dan juga tempat istirahat di saat mengurus coklat dan cengkeh, pondok ini juga menjadi tempat ia menyimpan jerigen-jerigen penampung air tuak untuk difermentasi.

Pondok mungil ini dikelilingi ratusan pohon coklat, cengkeh, dan juga pohon enau yang menjulang tinggi, dan tak jauh dari pondok,  sungai jernih dan bersih seperti air tuak yang sudah disuling deras mengalir dari pepohonan besar hutan rimba yang terbentang luas di sepanjang jalan bagian timur Kisol sampai perbatasan kabupaten Manggarai Timur ini.

Apabila di kebanyakan tempat penyulingan tuak yang saya jumpai baik di Kobok maupun Aimere, banyak orang menyuling tuak di samping rumah tempat mereka tinggal. Namun, hal berbeda dilakukan oleh Bapa Tomas, ia justru memasak tuak di pondok yang jaraknya cukup jauh dari rumah, melewati areal persawahan dan bukit yang cukup terjal. Ternyata hal itu dilakukannya agar di usianya yang tak lagi muda, ia tetap menjaga kondisinya tetap bugar, 

“apalagi sering minum tuak, dengan berjalan kaki saya dapat menjaga kondisi tetap sehat”, begitu ungkap Bapa berusia 54 tahun ini.

Setelah memperlihatkan tempat perapian dengan sebatang bambu dengan panjang sekitar 20 meter yang digunakan untuk menyalurkan uap air tuak yang dimasak, Bapa Tomas selanjutnya menunjukkan beberapa pohon enau yang sudah ia sadap ditandai dengan tangga terbuat dari bambu dan beberapa batang pohon bambu dengan panjang 2 meter bergantungan dengan seutas tali yang terhubung ke tangkai bunga pohon enau yang sedang digunakan untuk menampung nira yang keluar dari tangkai bunga pohon tuak.

Karena penasaran, saya bertanya kepada Bapa Tomas mengenai bagaimana cara mengetahui bahwa pohon enau sudah siap dipanen. Bapa Tomas menjelaskan bahwa sebelum panjat, ia menyiapkan pisau iris dan juga beberapa helai daun silor (bahasa Wae Rana) atau dalam bahasa Indonesa disebut daun kilit (Ficus septica). Setelahnya pisau digunakan untuk mengiris tangkai bunga pohon enau. Setelah diiris, tunggu beberapa menit untuk memastikan apakah ada air yang keluar. Bila ada, daun kilit digunakan untuk menutup bagian tangkai yang sudah diiris. 

"Tidak ada ritual khusus begitu ka bapa?" Saya lanjut bertanya. 

"Tidak ada le, paling berdoa saja", Bapa Tomas menjawab sambil meletakan satu kakinya di anak tangga bambu kecil yang setiap ruasnya sudah dibuat lubang untuk berpijak.

Keesokan harinya, enau yang sudah diberi tanda dicek apakah mengeluarkan busa atau tidak. Apabila ada busa maka selanjutnya tangkai dipotong untuk disadap dan ditampung ke dalam sebuah batang bambu yang dalam bahasa Wae Rana disebut leko terdiri dari 3-4 buku.


Selanjutnya, setiap pagi bambu atau leko penampung nira yang sudah penuh diambil dan dipindahkan ke dalam jeriken berukuran 5 liter untuk difermentasi selama 1-7 hari. Untuk 1 hari, Bapa Tomas bisa mengumpulkan 4 jerigen atau sebanyak 40 liter nira.

Menurut Wikipedia, Air nira yang terkumpul dan belum mengalami fermentasi tidak mempunyai kandungan alkohol yang tinggi sekitar 4% saja, rasa sangat manis dan dapat dikonsumsi langsung seperti yang dilakukan di Manggarai sebagai minuman jus tuak atau yang biasa dikenal dengan nama tuak bakok.

Di Dusun Deru, Kecamatan Welak, Manggarai Barat, Jus tuak ini dimasak untuk diolah menjadi gula aren yang dikenal dengan nama gola malangTuak yang dihasilkan dapat berasa sedikit manis agak masam atau pahit, dengan bau yang tajam dan warna yang sangat keruh. Bila dibiarkan, kandungan gula di dalamnya akan menjadi alkohol melalui proses fermentasi.

Nira pada dasarnya merupakan air yang keluar dari tangkai pohon enau.  Hasil fermentasi dari nira disebut tuak. Untuk meningkatkan kadar alkohol pada tuak maka tuak dimasak dan uapnya ditampung.

Bapa Tomas menjelaskan bahwa untuk mendapatkan kadar tuak dengan persentasi 50% atau tuak BM (bakar menyala) maka tuak sebanyak 40 liter dimasukan ke dalam periuk dan setelahnya dimasak sampai mendidih. Setelah mendidih, barulah periuk ditutup menggunakan penutup periuk yang sudah terhubung ke bambu yang panjangnya sekitar 20 meter untuk menyalurkan uap air tuak. Uap air tuak pertama ini hanya menghasilkan 60 ml tuak berkadar 50% dan menurut Bapa Tomas tuak inilah yang disebut Kobok.

Saya menemukan proses penyulingan berbeda bila dibandingkan dengan cara penyulingan tuak yang dilakukan oleh penyadap tuak lontar di Aimere, Bajawa. Yang mereka lakukan untuk menghasilkan tuak berkadar 50% yaitu jus tuak (berkadar 4 %) setelah fermentasi disuling hingga menghasilkan tuak berkadar 15%, tuak berkadar 15% dimasak lagi untuk menghasilkan tuak berkadar 20%, dan selanjutnya dilakukan terus-menerus sampai menghasilkan tuak berkadar 50%.


Bapa Hendrikus Jaun (65), yang kami jumpai sedang meminum tuak di pondoknya bersama dengan beberapa orang yang saat itu beristirahat setelah bekerja di sawah menceritakan tentang kebiasaan minum tuak di Kobok. Baginya minum tuak merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan turun temurun.

Tuak sebagai simbol persahabatan, kekeluargaan, dan kebersamaan. “di mana ada tuak pasti ada perkumpulan”, begitu ungkapnya.

 Ia menambahkan tuak digunakan untuk keperluan adat, menjamu tamu yang berkunjung ke rumah, untuk diminum sebelum tidur, dan dijual ke om Goris, pengepul tuak di sekitar jalan Wae Rana, trans Flores. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa menyadap tuak bukan usaha yang ia geluti sehari-hari seperti Bapa Tomas. Dari hasil penjualan tuak, ia dapat menghasilkan 7 juta setahun. Berbeda dengan Bapa Tomas, dalam setahun ia dapat menghasilkan 15 juta dari hasil penjualan tuak.

Bapa Hendrikus Jaun (65), warga Kobok

     Di Kobok, mereka hanya memproduksi tuak dan selanjutnya pengepul datang membeli secara gelondongan. Tuak Kobok ukuran 60 ml dijual dengan harga 60.000-70.000 dan tuak biasa (30-40%) dijual dengan harga 50.000 per botol ukuran 60ml.

Ada hal menarik disampaikan oleh Bapa Hendrikus ketika ditanya minuman kelas berapa yang ia suka.

"ee kalau di sini minum tuak biasa itu seperti main bola plastik, minum Kobok sama dengan main bola mikasa". Ungkap Bapa Hendrikus

 Karena lebih keras, tuak Kobok dipandang lebih tinggi kelasnya dibandingkan tuak lainnya.  Alvin,  Ino, dan saya tertawa mendengar cerita itu sambil berusaha menyaingi mereka dengan meneguk tuak Kobok.

            Bagi Bapa Tomas, Bapa Hendrikus, dan sebagian besar masyarakat di pulau Flores, tuak memang sangat penting pada saat acara adat, bahkan menurut Bapa Tomas, tanpa tuak acara adat dikatakan tidak resmi atau tidak sah.

 


Komentar

Ikin mengatakan…
Cool ase Irwan sdh mngulas scra komprehensif satu dari banyak keberkahan masyarakat matim, kobok.
Travel with Irwan mengatakan…
Terima kasih sudah mampir kak. Matim memang menyimpan banyak kearifan lokal yang patut dirawat dan dijaga.

Postingan populer dari blog ini

Journey to Poco Leok

What makes Wae Rebo unique?