Jalan-Jalan ke Sumber “KOBOK”

Kali ini tim My Flores mengunjungi Kobok yang yang terletak di Kelurahan Ronggakoe, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur dengan waktu tempuh satu setengah jam menggunakan mobil.

Tim My Flores sudah meninggalkan kota Ruteng pukul enam pagi. Kompiang panas yang dibeli di toko Tarsan cukup untuk bekal dalam perjalanan dan juga oleh-oleh buat keluarga yang kami kunjungi di Kobok.


Suasana pagi yang sangat dingin di daerah pegunungan menghiasi 30 menit perjalanan kami. Hutan di sekitar danau Rana Mese ditambah dengan nyanyian burung dan juga view persawahan di sekitar kampung Lerang mengharuskan kami berhenti sejenak untuk sekadar meregangkan otot. Tentunya view pagi yang penuh damai ini tak luput dari bidikan kamera Ino dan Alvin yang tampak berlomba lomba mencari angel yang bagus.

Dari seberang jalan saya hanya bisa memerhatikan kedua anak manusia ini sibuk ‘berkelahi’ dengan daun talas yang batangnya berukuran lebih tinggi dari mereka, apalagi tanaman ini selalu menampung embun pagi yang banyak di hampir semua permukaan daunnya, cukup membuat keduanya kerepotan ditambah dengan jalur yang mereka lalui sangat terjal. Tanaman seperti pisang, umbi-umbian, dan juga sayur-sayuran tumbuh subur menyesaki lahan milik warga ini.

Bagi Ino, untuk mendapatkan gambar yang bagus memang harus butuh sedikit perjuangan. Ia juga mengakui bahwa hal semakin sulit karena sandal yang ia pakai tidak cukup mencengkeram permukaan tanah yang sangat licin, bukan hanya sekali, bahkan ia harus tergelincir tiga kali, tapi baginya keamanan kamera lebih penting dari dirinya, terlebih lagi pemiliknya,  Alvin tampak serius memerhatikan hal tersebut. 

“jangan e yang  terpenting kraeng aman sa”, tutur  Alvin  seakan-akan ia tak mencerminkan paras wajahnya yang bengis. Ia ternyata merasa lucu ketika hal-hal tak terduga selalu muncul di setiap cerita.

Lagu-lagu Manggarai dari Ara Maximilian diputar dari HP yang terkoneksi Bluetooth ke Tape mobil sehingga volume suara semakin besar membuat Ino yang duduk di bangku tengah tiba-tiba saja tersadar dari kantuk yang hampir saja membuatnya tertidur. Ia saat itu kami posisikan sebagai tamu dari Eropa, sementara saya sebagai sopir, dan kae Alvin sebagai tour guide.

"what’s the meaning of the song? It sounds so nice". (apa arti lagu itu? Kedengerannya sangat bagus), tanya Ino. 

Alvin dengan gayanya menjawab "the song is about love, but it is a sad love story, the singer was being left by the girl he really loved to marry with another guy. (Lagu ini tentang cinta, tapi menceritakan kisah cinta sedih dimana penyanyi mengisahkan bahwa dulu ia ditinggalkan oleh kekasih yang sangat dicintainya dan menikah dengan pria lain), Alvin menjawab".

 Saya yang sibuk menyetir hanya bisa mengangguk-anggukan kepala tanpa bisa menahan tawa. Kami pun melakukan hal ini berulang-ulang kali sebagai salah satu cara untuk mengingat kembali kisah yang sering dilakuan jauh sebelum corona ada, saat menemani tamu yang sedang berwisata. Maklum saja kami bertiga profesinya sama yakni sebagai pemandu wisata di Flores dan Komodo.

Tak terasa waktu pun menunjuk pukul 07.30, kami sudah tiba di Borong, ibukota kabupaten Manggarai Timur. Dari arah tak biasa yaitu jalur pantai Cepi Watu kami langsung berbelok menuju pasar yang saat itu sudah buka.

Biasanya, mengunjungi keluarga anak rona (pemberi istri) di Manggarai, sebagai "anak Wina (penerima istri) diwajibkan membawa ayam, tapi saat itu di pasar Borong penjual ayam belum membuka kiosnya, saya pun beralih ke para pedagang yang sudah berdiri di sepanjang jalan keluar dari terminal Borong. Ikan tuna, ekor kuning, cara, dan cakalang mulai dari ukuran kecil, sedang, dan besar bergeletakan di atas papan berukuran persegi panjang.

“ikan segar nana, baru ambil tadi”, mama penjual ikan berusaha meyakinkan.

Saya pun memilih ikan tuna kira-kira beratnya 10 kg dengan 5 ekor ikan ekor kuning. Kedua jenis ikan ini dibeli dengan harga seratus ribu hasil dari tawar-menawar dengan kedua belah pihak puas dengan kesepakatannya.

         Setelahnya, ikan-ikan ini digantungkan di bagasi bagian atas mobil dan Alvin membantu mengikat dengan sangat kuat yang membuat perjalanan kami ke Kobok berlangsung aman-aman saja tanpa ada satu atau dua ekor ikan yang jatuh.

          Legah rasanya bisa membawa oleh-oleh ini meski tak biasa tapi yakin saja om dan tanta di Kobok pasti menerima ini dengan senyum bahagia, begitu pikirku saat itu.

     Tiba di Kisol, Ino yang melihat gapura di bagian kiri jalan langsung mengungkapkan kenangannya setelah dulu menghabiskan 3 tahun menimbah ilmu di SMP Seminari Pius Xii Kisol. Spontan saja Alvin merespon "eh dulu datang jauh-jauh dari Eropa hanya untuk bersekolah di sini?” 

         “ia ia, saya udah diperkenalkan oleh orang tua tuk sekolah di sini karena sekolah ini memiliki kualitas sangat tinggi”, Ino tak sadar ternyata Alvin masih memperlakukan dia sebagai tamu. 

     Sebagai tour guide,  Alvin selalu menemukan cara agar perjalanan tidak membosankan. Tidak jauh dari Kisol, Alvin menjelaskan bahwa di tempat ini masyarakat banyak menggantungkan hidup dengan berjualan minyak kelapa murni. Bagi orang Flores, minyak ini bermanfaat banyak terhadap kesehatan, diantaranya menghilangkan bekas luka dan menghilagkan stretch mark pada ibu setelah melahirkan. 

    Ino pun merespon, “eh ini bisa jadi content berikunya, menarik ni”. 

    Maklum saja, ini kan perjalanan youtuber, yang unik dan menarik pasti akan dijadikan content. Tunggu saja ya!

        Tiba di Kobok, kami sudah disambut dengan senyum manis Bapa Tomas dan mama Ida. Dengan hanya ditemani seorang cucu, mereka tinggal di rumah berukuran besar dengan pohon cengkeh dan pohon pisang memadati taman belakang rumah ini.

        “iiiii Iwak meze tu’un ikan eghi” (bahasa Wae Rana yang berarti besar sekali ikan ini). saya yang masih sibuk mengeluarkan tas dari bagasi mobil langsung tersenyum sendiri mendengar Mama Ida mengungkapkan hal itu setelah melihat oleh-oleh yang kami bawa.

    Rasa kangen akhirnya lepas satelah baru pertama kali mengunjungi Kobok dalam tiga tahun. 

        inung tuak ko? (mau minum tuak?) Bapa Tomas menawarkan dengan logat Ruteng agar  Ino dan  Alvin mudah mengerti. 

     “asi di bapa, to’ong cekoen” (jangan dulu Bapa, sebentar saja), Alvin menjawab.

       Kopi pahit khas Manggarai Timur pun disajikan. Bersama kopi, Bapa Tomas dan kami saling berbagi cerita tentang keluarga dan perjalanan yang baru saja kami lalui hingga pada akhirnya pembicaraan berujung pada hal awal yang mau dimulai yaitu tuak Kobok.

Sebut Kobok pasti identik dengan tuak.  Ino mengakui bahwa selama ini ia menganggap nama Kobok itu berarti tuak tapi ternyata Kobok adalah nama kampung yang masyarakat di dalamnya hidup dengan berhari-hari menyadap tuak sebagai penghasilan tambahan untuk kebutuhan hidup dan juga keperluan adat.

Perjalanan menuju kebun tuak pun dimulai>>>>>>>> bersambung

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jauh dari Australia, Seorang Traveler ke Ruteng untuk Doa Rosario

Conference Trip to Timor; More Than Just A Trip For Work, Giving Unexpected Bonuses.

Journey to Poco Leok