Todo dan Petualangan Mengenal Budaya Nusantara

“Siang Bapa, saya ada rencana ke Labuan Bajo dengan keluarga tanggal 13 Desember dan balik 17 Desember”. Isi pesan masuk dari nomor baru di WhatsApp.

Ketika pesan itu masuk, sukacita menyimuti perasaan. Bagaimanapun juga, pesan masuk seperti ini di masa pandemi sangat dinanti-nantikan dan ketika itu datang, tidak ada alasan untuk menundannya. Seketika itu juga saya langsung menjawab; “Halo! Terima kasih sudah menghubungi kami”.

Jawaban yang terbilang sangat singkat untuk sebuah respon terhadap reservasi, mungkin saking semangatnya sehingga menawarkan bantuan pun tidak sempat disampaikan. Tapi berawal dari situlah pembicaraan kami dimulai sampai pada akhirnya kegiatan wisata selama 5 hari di Flores terlaksana dengan aman dan lancar.

kegiatan "briefing" sebelum tur dimulai

Labuan Bajo dipilih oleh keluarga Pak Rudy bersama dengan istri dan kedua putrinya sebagai daerah kunjungan utama di Flores. Kota di ujung barat Pulau Flores ini menyajikan sejuta pesona yang mengundang decak kagum. Sejak diberlakukannya pelonggaran PKKM oleh pemerintah Kabupaten Manggarai Barat (berdasarkan asesmen Kementerian Kesehatan RI) dari level 4 ke level 2 pada September 2021, aktivitas pariwisata pun kembali menggeliat.


Pak Rudy yang sudah melanglang buana di banyak obyek wisata yang terdapat di beberapa negara di dunia menyampaikan alasannya mengapa memilih Flores sebagai salah satu daerah tujuan wisata yang dikunjunginya pada Desember tahun 2021.

“Ini bukan kali pertama saya mengunjungi Pulau Flores. Dulu, sekitar 5 tahun yang lalu saya sudah melakukan perjalanan wisata mulai dari Labuan Bajo sampai Moni untuk melihat Danau 3 Warna Kelimutu. Bagi saya, pengalaman pertama itu cukup memberikan keyakinan bahwa Indonesia benar-benar kaya akan alam dan budaya. Di sini, saya sangat menyukai keanekaragaman budaya yang masih hidup dan terjaga baik. Itu sebabnya, liburan kali ini saya mengajak keluarga terutama anak-anak untuk belajar mengenali budaya nusantara”, terang pak Rudy. 


Lebih lanjut, Bapak 3 anak ini mengungkapkan bahwa ini bukan kali terakhir dia dan keluarga mengunjungi Flores. Liburan berikutnya dia akan datang bersama dengan anak sulungnya yang pada liburan kali ini, ia tak bisa bergabung karena masih sibuk dengan kegiatan perkuliahan.

Kampung Tradisional Todo

Kampung adat Todo yang memiliki rumah adat “Mbaru Niang” berbentuk kerucut menjadi salah satu obyek wisata yang dikunjungi di Flores olek keluarga Pak Rudy. Setelah menghabiskan waktu semalaman di hotel Ayana ditambah dengan menikmati suguhan pemandangan alam di sekitar hotel yang lokasinya berada di antara barisan bukit dan bibir pantai di pesisir utara kota Labuan Bajo memberikan semangat dan energi postif untuk memulai perjalanan panjang menuju ke Kampung adat Todo yang berjarak 117 km dari Labuan Bajo.

Perjalanan panjang melewati jalur Trans Flores dengan kondisi jalanan berkelok, naik-turun gunung menjadi tantangan tersendiri. Setelah Alvin dan saya menjelaskan kondisi perjalanan yang akan dilalui, Kiki, anak kedua dari pak Rudy, pelajar SMA kelas X memanfatkan 30 menit awal untuk saling bertukar cerita tentang Flores khususnya Todo yang sebentar lagi dikunjungi. Sementara Pak Rudy yang duduk di bangku paling belakang sesekali ikut terlibat dalam perbincangan sambil mengungkapkan pengalaman pertama kali berkunjung ke Flores. Ia mengaku kagum dengan pembangunan infrastruktur di Flores yang berkembang sangat pesat.

Ibu Lixia menikmati durian
Ibu Lixia, istri pak Rudy dan anaknya Marcella yang duduk berdampingan di bangku tengah terlihat asyik menikmati pemandangan sepanjang perjalanan hingga pada akhirnya mereka tak kuasa menahan kantuk sehingga meninggalkan Kiki dan ayahnya yang berbicara.

Setelah 2 jam perjalanan, kami tiba di Paang Lembor, Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat. Selain melihat miniatur rumah adat Nusa Tenggara Timur yang berbaris rapi di punggung bukit di daerah perbatasan Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat, di sini kami menikmati suguhan lain yang mengundang keempat tamu kami sontak bangun dari tidur yang lelap. Sebagai penggemar berat buah-buahan terutama buah durian, Ibu Lixia langsung meminta Alvin menepi untuk berbelanja buah. Terdapat kios kecil di bahu jalan di mana ada seorang ibu paruh baya yang menjual beberapa jenis buah dan sayuran yang baru saja dipanen, di antanya ada buah pisang, alpukat, mentimun, labu, tomat, selada, terung dan durian.

2 buah durian langsung dilahap habis. Sementara 2 sisir pisang bekal untuk makan siang di Todo juga masuk dalam daftar belanjaan. Perjalanan selanjutnya kami tempuh sekitar 1 jam 30 menit, lebih cepat karena Alvin memutuskan untuk melewati jalan singkat melalui jalur Nteer yang memiliki ukuran jalan 3 kali lebih kecil dari jalur Trans Flores dengan kondisi jalan beraspal kasar. Namun, perjalanan melintasi jalanan sempit ini menjajikan aroma sedap dan suasana adem sampai-sampai kaca jendela mobil yang seharian ditutup akhirnya dibuka untuk menikmati hawa dingin pegunungan hijau yang menjulang tinggi.

Setibanya di kampung Todo, melalui kantor resepsion, kami disambut oleh Pak Aleksander Lamang atau yang akrab disapa Sandri, seorang pemandu wisata yang bertugas di Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Compang Todo yang dibentuk pada bulan Juli tahun 2019. Sebelum mengujungi rumah rumah adat “Mbaru Niang”, Sandri menyampaikan beberapa petunjuk sebelum memasuki kampung adat Todo yang konon memiliki “adak” (kerajaan) terkuat di wilayah Manggarai setelah pengaruh Bima melemah.

Sandri menjelaskan bahwa sebelum memasuki kampung, setiap tamu yang berkunjung wajib mengenakan sarung, selendang, bali belo (mahkota) untuk perempuan, dan peci bermotif rumah adat Todo untuk laki-laki. Selanjutnya saat memasuki rumah adat utama, setiap tamu harus melakukan ritual singkat “Wae Lu’u” sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dengan memberikan donasi.

“Ritual Wae Lu’u tidak dilakukan oleh wisatawan saja tapi juga kami sebagai masyarakat lokal melakukan hal ini apabila mengunjugi suatu tempat untuk suatu keperluan misalnya urusan adat, kami dahului dengan melakukan ritual “Wae Lu’u”. Jelas Sandri yang sudah 2 tahun bekerja sebagi pemandu wisata lokal di Kampung adat Todo.

Lebih lanjut, Sandri dalam penjelasannya menyampaikan bahwa dulu pada masa kerajaan terdapat sembilan rumah adat berbentuk kerucut yang memiliki namanya masing-masing. Di antarnya: Niang Mbowang, Niang Keka/Wa, Niang Teruk, Niang Supe, Niang Wesa, Niang Rato, Niang Lodok, Niang Mongko, dan Niang Dopo. Dari kesembilan rumah adat ini, tersisa 6 rumah adat saja, 3 lainnya belum dibangun. Niang Mbowang merupakan nama dari rumah adat utama yang kami kunjungi di mana terdapat di dalamnya alat musik tradisional, perlengkapan caci, dan yang tersohor Gendang Loke Nggerang yang terbuat dari kulit wanita cantik yang bernama Nggerang disimpan.

Bapak Agustinus Bandung (77) yang didapuk sebagai tetua adat Todo menyambut kami di Niang Mbowang. Ia memimpin ritual “Wae Lu’u sebelum akhinya mempersilakan kami menyusuri sudut-sudut ruangan berdiameter besar, kalau digambarkan bisa 2 kali lipat landasan "helipad" di mana di pintu masuk terdapat beberapa bagian kayu yang memiliki lukisan hasil pahatan yang menceritakan tentang kisah persalinan. Tepat di hadapan tiang utama bernama siri bongkok terdapat gantungan alat musik gendang dan gong serta perlengkapan untuk caci seperti larik, agang, dan nggiling.

Sementara Sandri sibuk menunjukkan beragam atribut warisan harta benda yang masih tersimpan rapi, Kiki dan adiknya Marcella tak luput dari jepretan foto yang diambil oleh Alvin. Lihat saja foto-foto ini. Keren kan?

(kiri-kanan): Marcella & Kiki


Ibu Lixia, pak Rudy & Bapak Agustinus (Tetua adat Todo)

sandri menjelaskan tentang Wae Lu'u


kehangatan dalam rangkulan "adak" Todo

Berhubung Todo dan di sekitarnya belum memiliki sarana memadai untuk tempat makan, satu hal yang kami lakukan ialah dengan memperdayakan potensi lokal yang dimiliki masyarakat Todo yaitu menikmati makan siang yang disajikan oleh mama Rielo di rumahnya yang berlokasi tepat di mulut kampung Todo.

Kiki yang sangat akrab dengan istilah “sustainability” yang diperkenalkan oleh gurunya yang berasal dari Eropa mengakui bahwa efek positif dari kegiatan wisata adalah masyarakat sebagai penggerak utama dapat menikmati “kue” pariwisata agar aktivitasnya terus berkelanjutan.

menikmati santapan siang di Todo

“Lengkap sudah suguhan tur hari ini, ada mama penjual buah yang kembali senyum lebar ketika buah-buahanya banyak dibeli, Sandri yang jasanya diperdayakan, dan mama Rielo dengan santapan siang yang sungguh lezat”, ujarku dalam hati.

Todo menjadi destinasi utama pada hari kedua tur di sekitar Flores bagian barat sebelum menuju Ruteng untuk menikmati suguhan lainnya di kota dingin di Flores ini.

Nantikan cerita selanjutnya dari perjalanan kami selama 5 hari di Flores pada postingan berikutnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jauh dari Australia, Seorang Traveler ke Ruteng untuk Doa Rosario

Conference Trip to Timor; More Than Just A Trip For Work, Giving Unexpected Bonuses.

Journey to Poco Leok